Acara recycle "Berpacu dalam
melodi" tiba-tiba saja mengusik batin ane. Masalahnya ada di kata berpacu
itu.
Sungguh berpacu adalah irama
unik. Macam meunggang kuda, ia berhubungan dengan waktu dan kecepatan.
Parahnya, ane begitu lupa pada
waktu. Jujur ane akui banyak sekali waktu terbuang sia-sia. Padahal ia tak bisa
dikebalikan. Umur ini terbatas, dan sekali lagi, sering kali pula ane
buang waktu itu bak sampah belaka.
Kata "berpacu" itu tak
kunjung hilang. Ia mengusik seperti luka nyamuk yang nikmat untuk digaruk. Tiba-tiba ia mengiterupsi. Sebuah kata samar tentang ingatan akan Steve Jobs dan Jaya Setiabudi. Ada apa dengan keduanya? Apa hubungannya?
Steve Jobs tak dipungkiri
merupakan sosok entrepreneur handal. Berbekal kenekatan dan keyakinan akan
impiannya, ia yang sendirian, menantang dunia dan menguji bahwa ia lebih besar
ketimbang dunia itu sendiri. Sejak muda, kebiasannya adalah berdiri di depan
cermin dan membayangkan kalo saja hari ini adalah hari terakhirnya di dunia.
Kematian bukan masalah : nanti
akan masuk PNS apa tidak di tengah persaingan ratusan ribu orang yang mendaftar
guna memerebutkan secuil kursi. Ia bukan pula persaingan sperma saat membuahi
indung telur ; bahwa dari berjuta-juta itu, hanya ada satu sepersekian juta
kesempatan yang dimiliki oleh satu sel sperma untuk menang.
Kematian lebih mirip dengan gaya
grafitasi. Apapun yang kau lempar ke atas akan jatuh ke bawah. Suka tidak suka.
Percaya tidak percaya. Yakin tidak yakin, grativasi akan menarik setiap benda
untuk tunduk pada hukum tersebut.
Maka Steve Jobs sekaan
"berpacu" dengan kematian itu sendiri. Ia berkejar-kejaran satu sama
lain. Saling menyalip di tikungan. Yang meskipun dengannya, Steve Jobs mempush
kemampuan untuk meraih puncak tertinggi karir sebagai seorang revolusioner
dalam industri gadget, pun pada akhirnya juga menyapa kematian di tahun 2011.
Tapi kematian juga angkat topi
pada Steve. Ia dengan rendah hati menghargainya ; Steve masih tetap
menginspirasi generasi sekarang, ia macam abadi dan tetap dikenang. Kematian
seakan berkata : Ini dia kawanku, yang pernah --sekali lagi--
"berpacu" denganku. Lalu, apakah kau juga mau berpacu denganku?
11-12 dengan steve jobs, Mas Jaya
Setiabudi juga "berpacu". Ia menganggap bahwa waktu ini terbatas.
Kalo tidak digunakan, apa kata dunia?--lebay--.
Bukunya yang fenomenal bukan
karena hanya bersifat praktikal, tapi juga menginspirasi bahwa untuk maju, ente
kudu kepepet.
Kau bisa melihat wahai kawanku,
saat kebelet, maka kau akan lakukan apapun untuk membuang hajatmu. Tak peduli
siapapun, kebelet yang nota bene adalah
perbandingan antara kecepatan keluarnya kotoran dibagi usaha Anda untuk mencari
cara mengatasinya "berpacu" untuk sesegera mungkin ke jamban
terdekat.
Mas Jaya menjadikan kepepet
sebagai sebuah kekuatan. Waktu sudah menipis, bergerak pada satu titik tujuan sudah
tak terelakkan lagi. Dari situ, kemampuan terbaik dalam diri manusia keluar dan
menyuguhkan hal-hal di luar nalar.
Kisah keduanya yang berpacu
dengan kematian dan waktu, menyuguhkan kisah heroik perjalanan hidup. Benarlah
jika ada nasehat berdalih "Cukuplah kematian menjadi nasehat
terbaik."
Selamat malam kawan, selamat
berpacu.