Kamis, 04 September 2014

Menyalakan Lilin Berpacu



Acara recycle "Berpacu dalam melodi" tiba-tiba saja mengusik batin ane. Masalahnya ada di kata berpacu itu.

Sungguh berpacu adalah irama unik. Macam meunggang kuda, ia berhubungan dengan waktu dan kecepatan.

Parahnya, ane begitu lupa pada waktu. Jujur ane akui banyak sekali waktu terbuang sia-sia. Padahal ia tak bisa dikebalikan. Umur ini terbatas, dan sekali lagi, sering kali pula ane buang waktu itu bak sampah belaka.

Kata "berpacu" itu tak kunjung hilang. Ia mengusik seperti luka nyamuk yang nikmat untuk digaruk. Tiba-tiba ia mengiterupsi. Sebuah kata samar tentang ingatan akan Steve Jobs dan Jaya Setiabudi. Ada apa dengan keduanya? Apa hubungannya?

Steve Jobs tak dipungkiri merupakan sosok entrepreneur handal. Berbekal kenekatan dan keyakinan akan impiannya, ia yang sendirian, menantang dunia dan menguji bahwa ia lebih besar ketimbang dunia itu sendiri. Sejak muda, kebiasannya adalah berdiri di depan cermin dan membayangkan kalo saja hari ini adalah hari terakhirnya di dunia.

Kawan, siapapun akan mati. Kematian tidak dipungkiri cepat atau lambat akan datang. Lalu, apa yang kau perbuat jika kematian adalah sebuah kepastian.

Kematian bukan masalah : nanti akan masuk PNS apa tidak di tengah persaingan ratusan ribu orang yang mendaftar guna memerebutkan secuil kursi. Ia bukan pula persaingan sperma saat membuahi indung telur ; bahwa dari berjuta-juta itu, hanya ada satu sepersekian juta kesempatan yang dimiliki oleh satu sel sperma untuk menang.

Kematian lebih mirip dengan gaya grafitasi. Apapun yang kau lempar ke atas akan jatuh ke bawah. Suka tidak suka. Percaya tidak percaya. Yakin tidak yakin, grativasi akan menarik setiap benda untuk tunduk pada hukum tersebut.

Maka Steve Jobs sekaan "berpacu" dengan kematian itu sendiri. Ia berkejar-kejaran satu sama lain. Saling menyalip di tikungan. Yang meskipun dengannya, Steve Jobs mempush kemampuan untuk meraih puncak tertinggi karir sebagai seorang revolusioner dalam industri gadget, pun pada akhirnya juga menyapa kematian di tahun 2011.

Tapi kematian juga angkat topi pada Steve. Ia dengan rendah hati menghargainya ; Steve masih tetap menginspirasi generasi sekarang, ia macam abadi dan tetap dikenang. Kematian seakan berkata : Ini dia kawanku, yang pernah --sekali lagi-- "berpacu" denganku. Lalu, apakah kau juga mau berpacu denganku?

11-12 dengan steve jobs, Mas Jaya Setiabudi juga "berpacu". Ia menganggap bahwa waktu ini terbatas. Kalo tidak digunakan, apa kata dunia?--lebay--.

Bukunya yang fenomenal bukan karena hanya bersifat praktikal, tapi juga menginspirasi bahwa untuk maju, ente kudu kepepet.

Kau bisa melihat wahai kawanku, saat kebelet, maka kau akan lakukan apapun untuk membuang hajatmu. Tak peduli siapapun, kebelet  yang nota bene adalah perbandingan antara kecepatan keluarnya kotoran dibagi usaha Anda untuk mencari cara mengatasinya "berpacu" untuk sesegera mungkin ke jamban terdekat.

Mas Jaya menjadikan kepepet sebagai sebuah kekuatan. Waktu sudah menipis, bergerak pada satu titik tujuan sudah tak terelakkan lagi. Dari situ, kemampuan terbaik dalam diri manusia keluar dan menyuguhkan hal-hal di luar nalar.

Kisah keduanya yang berpacu dengan kematian dan waktu, menyuguhkan kisah heroik perjalanan hidup. Benarlah jika ada nasehat berdalih "Cukuplah kematian menjadi nasehat terbaik."

Selamat malam kawan, selamat berpacu.