Selasa, 02 September 2014

Kalo Duit Haji/Umrah Buat Membangun Negara Gimana?



Bicara masalah biro haji, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia adalah pasar yang sangat besar. Naik haji memang sebuah kewajiban bagi mereka yang mampu, maka tak ayal, jamaah haji dari Indonesia berbondong-bondong antri untuk ke tanah suci.

Beda haji beda juga dengan umroh. Kalo umroh dikatakan haji kecil soalnya disitu gak ada wukuf di arafah. Hukumnya pun berbeda, jika haji wajib bagi yang mampu, umroh adalah sunnah bagi mereka  yang bisa menunaikannya.

Masalah mampu dan tidak mampu emang relatif. Ane katakan relatif karena parameternya sangat subyektif. Murah bisa berarti mahal, mahal bisa berarti murah. Ukuran mahal-murah adalah takaran manusia saja.



Padahal haji adalah bentuk ketundukan untuk meneladani Ibrahim ketika berjuang "mendekatkan diri" pada Alloh. Nilai ibadahnya dibalut dengan perjalanan, napak tilas, pun jug akadang diwarnai dengan plesir. Tapi tetap bahwa keduanya berkunjung untuk melihat langsung bagaimana awal mula agama Islam di tanah kelahirannya.

Bagi yang benar-benar relijius, berangkat ke tanah suci itu ngangenin dan mistis. Ngangenin karena selain bepergian, juga menjadi perjalanan spiritual bagi si-empunya. Mistis karena hanya orang-orang yang "terpanggil" saja yang mau melangkahkan kaki untuk berangkat.  Keterpanggilan itu macam-macam bentuknya ; ada karena faktor sosial, faktor batin, faktor kebetulan, dan faktor kewajiban, dll.

Jika Anda browsing di internet tentang kisah bagaimana perjalanan haji, Anda akan dapat banyak cerita inspiratif yang menandakan bahwa "Ada Tangan" kuat yang mengarahkan seseorang untuk bergerak menunaikan ibadah haji/umroh.

Ada jamaah asal Situbondo yang jika mengumpulkan uang 30 juta saja tidak mungkin dinalar. Pekerjaannya setiap hari adalah duduk dipelataran sambil menjual hasil buah-buahan yang ditanam di halaman belakang rumahnya. Suatu hari, dia diminta bantuan untuk menjual sebidang tanah. Entah bagaimana, ia juga mendapatkan pembelinya dari orang yang mampir beli buah-buahannya tersebut. Dari situ ia dapat uang untuk berangkat naik haji.

Lain cerita juga ada kisah haru dari pasangan tukang becak yang menggratiskan ongkos becaknya untuk bersedekah pada hari jumat. Ukurannya memang tidak mampu, tapi Sang Kuasa mengizinkan dia untuk berangkat karena kebajikannya menyedekahkan waktunya pada saat tertentu itu.

So, haji dan umroh pada suatu ketika menjadi titik refleksi diri untuk merenung kembali. Bahwa ternyata seorang manusia itu tidak sendiri. Ia masih mempunyai Pencipta yang kadang tidak sengaja terlupakan. Benturan hidup, kesusahan hidup, pun juga kelapangan kesempatan dan ekonomi bisa membuat siapa saja untuk melupakan faktor tersebut.


Ada juga sih kritik terhadap perilaku berhaji dan umroh ini. Misalkan ada pertanyaan begini : "Kalo uang haji disumbangkan untuk mengatasi hutang Indonesia, kira-kira akan lebih baik lagi tuh". "Penghasilan tertinggi Arab Saudi itu bukan dari minyak, tapi dari datangnya para jamaah untuk menunaikan Haji atau Umroh".


Tuhan memang tak berbatas ruang dan waktu, apalagi hanya sebuah negara. Haji dan Umroh adalah bentuk ketundukan pada pelaksanaan tata cara beragama. Ini adalah sebuah kebebasan yang mutlak harus dihormati, bukan karena ia adalah Islam yang nota bener menjadi dipeluk sebagian besar penduduk Indoensia, tapi juga kebebasan sebagai umat beragama untuk menjalankan apa yang diyakini selama tidak menyakiti manusia lainnya.

Jika Anda atau saya sekalipun merasa bebas untuk memilih antara minuman keras dan pocari sweat misalnya, juga bebas untuk main togel apa ngasih sumbangan ke lembaga sosial taruh kata, apalagi hanya perkara untuk bersatu-padu membela negara dengan kumpulan arisan uang haji?

#####

Wallahua'lam