Sabtu, 30 Agustus 2014

Terlalu Capek Dengan Harapan

Renungan :

"Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia kalau keinginannya tercvapai. Orang akan merasa kecewa kalalu keinginannya tidak terapai. Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah. Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak."

"Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang punya oplah separonya dari Surabaya Post. Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak mungkin mengejar Surabaya Post yang sudah merajalela kehebatannya."

"Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50% Surabaya Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya Post. Keinginan itu meningkat terus secara bertahap, sehingga menjadi seperti Group Jawa Pos sekarang."

Dahlan Iskan, Ganti Hati

Kawan, itulah yang membuat ane terenung untuk mendalami apa sebenarnya di balik tulisan tersebut. Kalo Anda merasa bahwa saya sedang mendewakan Dahlan Iskan, ya silahkan saja, toh juga saya punya panutan lainnya. Ilmu yang disalurkan dalam bentuk buku itu ane renungkan baik-baik. Ane install dalam-dalam di otak dan sanubari ane.


Kata-kata harapan tinggi, kebahagiaan dengan materi berlimpah ruah tiba-tiba sangat familiar dengan kehidupan ane. Bukan karena ane dari golongan orang berpunya, tapi sebaliknya, ketidakcukupan sangat erat dengan dunia ane selama ini. Harapan itulah yang membawa ane tercuci otak masuk MLM berkali-kali. Ikutan seminar kesana kemari tanpa ada pendapatan yang jelas. Angan-angan membumbung tinggi dan berkali-kali pula kegagalan menghampiri dan hasil bertolak 180 derajat dengan apa yang dijanjikan. 

Hati ane capek, remuk, dan syukurlah ane gak bunuh diri. Ternyata ane tidak bersyukur. Harapan-harpaan itu terlalu tinggi tapi entah karena iktiyar atau jenis usahanya "njeketek" tidak menyampaikan pada apa yang ane harapkan.

Ane gak bersyukur karena sudah jualan tiket. Ane gak bersyukur bahwa tiket juga bisa lho dikembangkan dan dibesarkan. Ane terbujuk rayuan untuk beralih pada hal-hal yang mungkin tapi alpa pada kenyataan bahwa mencapai titik itu tidak hanya dengan jalan MLM.

Lalu ane cuapkan dalam-dalam bahwa sudah-sudah...sekarang saya sudah punya produk sendiri. Sudah punya usaha sendiri. Biarlah saya kembangkan sendiri. Dengan cara apapun dan bagaimanapun. Kalo hasilnya bagus ya syukur. Yang penting saya sudah luruskan tugas kemanusiaan ane untuk memastikan bahwa usaha yang telah dilakukan sudah tepat. Hasilnya? Ane sumeleh saja sama Yang Maha Mengecat Cabe.

Harapan ane pun ane bikin sendiri supaya terasa enak dihati. Mulai dari yang kecil dahulu, yakni menghasilkan uang bulanan yang mampu menutup biaya operasional dan kebutuhan hidup bulanan ane mulai dari sewa tempat, uang makan, uang akomodasi, biaya internet, biaya listrik. Selanjutnya ane gak tahu.

Nah kawan, ini menurut ane lho ya,,gak usah diperdebatkan harus bagaimana toh manusia itu diciptakan berbeda-beda. Ada yang nyaman dengan metode menggebu-gebu macam yang diajarkan MLM itu, ada juga yang santai-santai tapi dikerjakan sebisanya dan semaksimalnya, ada juga yang hanya diam saja tapi bekerja sepi ing pamrih. 

Ane gak tahu, Sampeyan masuk golongan yang mana?