Jumat, 29 Agustus 2014

Mental Minoritas

Pagi tadi saya sudah diwanti-wanti untuk ikutan hadir dalam tasyakuran yang diadakan di rumah kakak kedua saya. Ibu saya paling sengit untuk masalah mengingatkan ini, karena menurut beliau, ane sering kali lupa akan sebuah janji. 


Seperti minggu yang lalu, ane sudah dijadwal untuk mengantarkan ibu menagih hutang di mojokerto. Sejak Sabtu ane dah keliaran keliling kota pake vespa. Minggu dini hari, ane lanjut ke rumah susun di kawasan gunung sari untuk ikutan main pe es, dan kebetulan ada teman dari jawa tengah yang sengaja datang kesitu untuk urun rembug. Jadilah ane tidur sampek sore hari dan lupa akan janji yang sudah seminggu dibuat itu. Ane baru sadar tatkala malam harinya, pas ane makan di rumah makan milik teman di kawasan deltasari, dengan sengaja ibu menelpon dimana sebenarnya keberadaan ane. Melalui panggilan telpon itulah, ane jadi ingat bahwa ada janji yang sudah saya ingkari.


Untuk tasayakuran ini, ibu gak ada toleransi. Sejak pagi diingatkan, pas pun di tengah pekerjaan, ane ditelpon untuk tidak lupa. Dan begitu selepas kerja, ane masih ingat dan ternyata perkiraan ibu tentang banyaknya janji ane yang mbeleset ternyata salah ; bahwa saya sudah bertekad bulat untuk datang pada acara tasyakuran itu. 


Memang saya datang terlambat. Sebelum berangkat, saya terpaku untuk melanjutkan membaca buku karya Dahlan Iskan yang fenomenal itu ; ganti hati. Saya niatkan untuk membaca tiga bab lagi karena emang saya ketagihan dengan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Jadilah ane selepas magrib masih membaca buku itu.


Keisengan pun datang. Mengapa ada semacam niatan baik untuk memasakkan pacar. Saya telponlah dia, saya tawari apakah mau saya buatkan mie di rumah plus telor goreng? Dia jawab mau, jadilah saya masak. Dan itu semua baru selesai selepas isya'. Habis isya' saya langsung mandi, ganti baju, dan tergopoh-gopoh membungkus mie rebus, ditambah telor dan sedikit nasi. Saya hantarkan itu bahan makanan ke kekasih tercinta, dan setelahnya saya ngebut pake vespa ke pagesanan, rumah kakak saya. 


Sampek tempat, susana sudah ramai orang. Mereka sudah pada makanan. Ini menunjukkan kalo saya terlewat untuk ikut pengajian dan mengaji--kalopun ada--yang jelas ceramah agama tidak ada disitu. Acaranya pun sederhana dan diakhiri dengan makan sate dan gule. Saya baru tahu kalo tasyakuran ini adalah syukuran kehamilan ketiga kakak saya setelah anak keduanya meninggal dunia tahun lalu. 


Habis acara pengajian, ane ikutan bantu cuci piring. Minta ampun banyaknya. Tapi tak mengapa, tak hina seorang cowok ikutan cuci piring. Toh ini juga sebagai ganti saya yang terlambat bukan? Masak hanya ikutan makan dan gak berbuat apa-apa. Meskipun kadang dalam budaya jawa laki-laki ditempatkan di maqom istimewa, tapi saya tak gubris hal itu. Sebagai seorang manusia, menjadi setara adalah penting. Sama pentingnya dengan acara pengajian itu sendiri.


Selepas cuci piring, saya minta jatah satu porsi gule untuk saya hantarkan ke temen saya yang digunung sari itu. Tempat dimana anak-anak sering berkumpul untuk bercerita atau mungkin hanya numpang tidur disitu. Paling banyak tentu main play station.Tapi itu saya anggap bonus saja, toh sudah ratusan ribu --kalo saya mengibaratkan begitu banyak jam-jam yang terbuang karena hal ini--kali ane main pes, toh itu juga saya masih kalah melulu. Bosan karena kalah, tapi juga penasaran kenapa setelah belasan tahun bermain game yang sama tapi tetep kalah juga. Rasa penasaran dan kekalahan mengakibatkan makin banyaknya jam yang terbuang. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan. 


Cerita menarik justru terjadi setelah itu. Saya haturkan itu satu porsi nasi gule yang lezat, setetalh itu bermain pe es --yang aman ane masih tetep kalah. Dan di game keempat telpon ane berdering. Rupanya teman dari Jombang telpon. Entah ada angin apa kok dia telpon. Jarang sekali dia telpon, apalagi di tengah krisis ekonomi yang sedang menimpanya sekarang. 


Kita pun ngobrol disitu banyak sekali. Isinya adalah terutama tentang kegelisahan masalah pekerjaan. Dulu teman ane itulah yang mengajak ke papua untuk jadi penerjemah. Alhamdulilah pulang dari Papua, keberadaan ane makin "makmur" dari sebelumnya. Dan teman ane ini, mungkin karena salah menej atau bagaimana masih berjibaku dengan pendapatan. Ia sudah berkorban banyak ; kalah dalam forex senilai 25 juta, beli gadget terus-terusan, biaya hidup yang tinggi mungkin sehingga sepulang dari papua ia tak membelikan aktiva ataupun pasiva. 



Dan sekarang kegalauannya makin bertambah karena panggilan balik ke papua tak kunjung datang. Pendapatan bulanan juga tak ada. Padahal keahliannya sangat mumpuni kawan. Ane gak gemen-gemen, bahasa inggrisnya boleh di tes, dan saya berani mengatakan, dialah ahli bahsa inggris se-freeport. Walaupun orang lokal, tapi kalo ngomong inggris, mungkin Anda mengira kalo dia sudah kayak orang Amerika saja. 


Lebih dari itu, pada tahun 2008-2010, selama dua tahun intensif dia menyhiapkan diri dalam hingar-bingar tes CPNS. Sembilan kali (baca 9) dia masuk tes wawancara akhir, dan 9 kali pula ia gagal. Akhirnya dia skeptis terhadap tes CPNS yang sekarang lagi dibuka lagi. Usulan ane supaya dia ikut tes CPNS pun kandas, karena memang dia tidak dimudahkan dalam urusan tes yang satu ini. Sembilan kali masuk babak akhir dan tak ada satupun yang lolos menjadi isyarat bagi dia, seolah mendapat pesan dari langit untuk berhenti dan tidak ikut tes CPNS lagi. 


Kegelisahannya kali ini menjadi semacam seminar motivasi GRATIS bagi ane. NIlainya bagi ane adalah setara dengan biaya seminar yang bahkan nilainya belasan juta. Ane gak ngecap kawan, karena setiap lontaran-lontaran curhatnya bernilai dan bermakna dalam bagi diri saya. Ane adalah orang yang beruntung pada malam itu karena mendapatkan banyak wejangan dari dirinya. 


Misalkan tentang menjalani hidup jadi PNS dan bisa jadi kaya raya. Dia pun menolak kalo PNS bisa kaya, karena sejatinya menjadi PNS adalah menjadi pelayan rakyat. Tidak mungkin akan kaya karena memang gajinya hanya segitu-segitu saja. Kalo pun ada PNS  yang jadi super kaya, harus dan wajib dipertanyaakan darimana kekayaannya itu berasal.


Ia pun menghina dirinya sendiri dan menertawakannya dengan ikhlas. Ia setuju kalo memang bangsa kita ini bangsa babi. Ups, jangan tersinggung karena memang begitulah kenyataannya. Dulu kita berprinsip ; bersatu kita teguh, bercerai kita nikah lagi, eh salah, bercerai kita runtuh. Kini banyak orang yang lebih suka bercerai saja. Semua pada ngurusin masalah individunya masing-masing tanpa memperhatikan sesama saudaranya. Dan itulah sebab kenapa Endonesa tidak pernah maju hingga detik ini.


Cita-citanya dengan cita-cita ane hampir-hampir mirip ; sebelas dua belas lah kalo ane bilang. Mau mandiri, bermanfaat bagi orang lain, berdiri sendiri, dan untung-untungan kalo ditakdirkan jadi orang kaya raya. 


Lalu ane bertanya ; kenapa orang tionghoa itu begitu sukses? Dia menjawab dengan singkat, tidak usahlah membahas mereka, karena itu adalah hak mereka. Dan kita tak berhak untuk menanyakan hal itu lagi. Lho kok? Begini, jawabnya, karena sejak awal mindset dan pola pikir kita dan mereka berbeda. 


Bagi minoritas, kebersamaan adalah segalanya, dan pemhaman terhadap prinsip harta sangat dipegang. Harta dibawa mati bung, dan kita tidak berprinsip seperti itu. Salahnya adalah, kenapa kita masih mengungkit-ngungkit mereka. Padahal kita ndak ada hal sama sekali untuk membahasnya sedikitpun. 


Dia kasih contoh riil. "Oke, ente punya tanah, dan beranikah ente mensekolahkan sertifikasnya ke bank untuk modal buat usaha yang menurut ente bisa menghasilkan?" Dengan sadar ane jawab ; ndak mau. Dan itulah perbedannya. Sejak awal ane gak berani untuk mengambil resiko dan memperjuangkan peluang yang ada dengan menggadaikan hal terbesar yang kita punya. Ane lebih suka standar-standar saja berada di zona nyaman. Ya punya tanah, kerja lagi siapa tahu bisa beli tanah lagi. Begitulah kira-kira prinsip ane yang ane yakini sekarang. 


Dan ia pun menyadari bahwa dirinya juga bermental sama. Takut, pengen hasil besar tapi gak mau ambil resio besar. Maunya aman-aman saja, yang penting menjalnai hidup jadi orang normal. Normal yang gimana? Punya istri, punya anak, punya rumah, bisa mensekolahkan anak, untung-untungan bisa beli lebih dan menunggu kematian setelah itu. 


Ane jadi tergugat, ane jadi njingkat, ane macam jadi kayak kuda yang dipecut habis-habisan karena terlalu lama memamahbiak dan tidak pernah turun lapangan. Nasehat temen ane tadi begitu menohok. Ornag-orang yang sukses, jangan membahas mereka, karena mereka telah melaukannya. Membahas mereka dalam sisi positif maupun egatif adalah wujud iri dengki kita yang tidak bisa seperti mereka-mereka yang ktia bahas itu. 


"Orang kita ini lucu, maunya aman-aman saja, bikin proposal, ajukan dana ke orang lain, baru produk muncul", "Lha kenpaa gak bikn produk dulu, lalu marketingkan dengan benar?"


Ane makin terjingkat dan pengen berlari saja untuk segera melaksanakan apa yang jadi pemahaman ane malam itu. Pikiran ane menari-nari untuk instrospeksi diri dan menambah keberanian untuk melangkah dan mengambil tindakan. Kenapa selama ini ane nyaman saja di kandang, tapi gak pernah membuka pemikran untuk BERANi dalam mengambil langkah guna menyongsong masa depan yang ane inginkan.


BERANI itulah yang menjadi pembeda antara kita dan mereka. Maka tak usahlah membahas kesuksessan mereka karena itu adalah hal lumrah dan sunnatullohnya orang-orang yang berani. Bahasan malam itu membuat ane kagum. Pengen sekali menuliskannya, dan tatkala ane sampek rumah, ane ambil keyboard dan mulai menulis kejadian tadi.


Berani punya produk sendiri

Berani memarketingkannya dengan TMS (terstruktur, masif, dan sistematis)

Berani mengambil resiko

Dan segala keberanian lainnya.


Terima kasih kawan, malam ini, saya mendapat pencerahan.


Salam